Ranggawarsita: Pujangga Penutup


Raden Ngabehi Ranggawarsita merupakan pujangga yang lahir pada 15 Maret 1802 M. Nama kecilnya ialah Bagus Burhan. Bagus merupakan gelar kebangswanan ke-7 dan Burhan yang berarti nyata. Kakek dan buyutnya yakni Yasadipura II dan Yasadipura I merupakan pujangga dari Keraton Susuhan Surakarta.

Pada usia 12 tahun ia menempuh pendidikan di Pesantren Tegalsari (Ponorogo) dengan guru kenamaan Kiai Ageng Kesan Besari yang merupakan keturunan priyai dan menguasai ilmu kebatinan. Masa kecil Bagus Burhan terlihat kurang serius dalam memperlajari ilmu agama bahkan cenderung menjadi anak yang bandel. Hingga pada suatu masa ia mengalami tekanan batin, dan merubah sikapnya untuk mesu budi (menajamkan akal budi).

Awal karier pujangganya diawali semenjak sepeninggal kakeknya, Yasadipura II untuk menjadi sekertaris dengan pangkat (kliwon carik) menggantikan kakeknya. Pada masa itu pujangga sendiri berarti orang yang berpandangan batin tajam serta menguasai ilmu lahir batin.

Dengan kedudukannya tersebut Bagus Burhan bertugas sebagai penyusun serta mengembangkan kebudayaan dan kepustakaan Jawa. Dimana Bagus Burhan telah memberikan sumbangsih dengan karya-karyanya yang menjadi pembaharuan dalam dunia sastra Jawa dan kebangkitan rohani, jaman ini disebut juga dengan Jaman Surakarta Awal  (pertegahan abad ke-19M).

Pembaharuan karya sastra Jawa tersebut dilihat dari adanya nuansa penyesuaian  antara ajaran kejawen (kepercayaan adanya komunikasi langusung atau bahkan bersatu dengan Tuhan melalui tanggapan batin) dengan ajaran Islam, yang disebut ajaran Tasawuf.

Salah satu ajarannya adalah manunggalin kawula (kesatuan manusia dengan Tuhan) yang terdapat dalam Serat Wedhatama. Karya lainnya yang masih dalam nuansa sama antara lain Serat Paramayoga, Suluk Saloka Jiwa, Suluk Sukma Lelana, dan lainnya.

Dimana adanya keyakinan komuninasi atau bahkan menyatunya hamba dengan Tuhan melalui batin atau hati. Dalam paradigma tasawuf, hati yang bersih dapat menerima nur dari alam ghaib dan Tuhan. Tidak heran jika seseorang yang telah mencapai manunggaling kawula dapat mengetahui peristiwa yang akan terjadi.

Seperti halnya Ranggawarsita yang dapat mengetahui kapan ajalnya tiba, yang ia tulis dalam Serat Sabda Jati  pada bait ke 17 – 19:

among kurang wolung ari kang kadulu/ tamating pati patitis/ wus katon neng lokil makpul/ angumpul ing madya ari/ amergi Sri Budha Pon//…………….(17)

Tanggal kaping limo antarane luhur/ selaning tahun Jimakir/ taluhu marjayeng janggur/sengara winduning pati/ netepi ngumpul sak enggon//………………(18)

Cinitra ri budha kaping wolulikur/ Sawal ing tahun Jimakir/ candraning warsa pinetung/ sembah mekswa pejangga ji/ Ki Pujangga pamit layoti//……..……(19)

artinya:

Hanya tinggal 8 hari lagi. Sudah terlihat dalam suratan nasib di Loh Mahfud, (Sang Pujangga) akan meninggal pada Rabu Pon di Siang hari. Banyak orang berkumpul melayatnya………………………………………………………...(17)

Tanggalnya adalah 5 Dulkangidah Jimakir, Wuku Tolu, windu Sengara……..(18)

Disusun pada hari Rabu, 28 Syawal Jimakir, 1802 [sembah=2; muswa=0; pujangga=8, ji=1; 1873 Masehi]. Sang pujangga minta pamit akan wafat……(19)

Jika dilihat dari Serat Sabda Jati, Ranggawarsita nampak memiliki pandangan batin yang tajam, sesuai dengan hasil dari manunggaling kawula, ajarannya.

Setelah peninggalnya Ranggawarsita, tumpuk kekeuasaan Susuhan Surakata berada ditangan Pakubuwana X (1893 – 1939) yang mulai membuka diri dengan pengaruh budaya Barat. Sehingga pada saat itu, keilmuanpun lebih rasional dan tidak bersandar pada ilmu mastic yang bersandar pada keyakinan/batin. Sehingga Ranggawarsita pemikir yang memiliki pandangan batin tajam layak disebut sebagai “Pujangga Terakhir”.

Posting Komentar

0 Komentar