Melihat kembali Krisis Ekonomi Moneter 98 dan Ancaman Krisis Ekonomi akibat Pandemi, Akankah Mengulang Sejarah ?


          Pandemic Covid-19 yang terjadi pada maret hingga saat ini belum nemukan titik terang terutama di Indonesia. kasus korban yang terinfeksi virus ini terus mengalami kenaikan terutama setelah adanya kebijakan new normal. Dilansir dari kompas.tv menurut Wiku Adisasmito menjelaskan bahwa new normal adalah adaptasi kebiasaan baru dalam rangka menuju masyarakat produktif dan aman dari Covid-19. Dengan adanya kebijakaan new normal masyarakat diperbolehkan berpergian namun tetap mematuhi protokol kesehatan. Namun kenyataannya, kesadaran masyarakat akan protokol kesehetan masih relative minim sehingga penyebaran Covid-19 akan terus terjadi. Pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Dr. Iwan Ariawan menyampaikan, dengan jumlah kasus yang masih terbilang tinggi maka penerapan new normal beresiko tinggi terhadap makin masifnya penyebaran virus corona.

          Pandemi Covid-19 juga tidak hanya berdampak pada sisi kesehatan saja namun berdampak signifikan terhadap perekonomian Negara. Mulai dari sector formal sampai informal. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pandemi Virus Corona membuat seluruh sektor ekonomi terpukul. Saat ini, hanya aktivitas ekonomi yang beralih ke online digital bisa bertahan menghadapi tantangan. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) angka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2020 minus 5,23%. Angka itu membuat ancaman resesi di Indonesia kian nyata. Di Indonesia sendiri bukan untuk pertama kalinya Negara ini mengalami krisis ekonomi. Jika kita menengok kembali catatan sebuah sejarah, ini mengingatkan kita pada kejadian Krisis Moneter pada tahun 1998.

          Dalam jurnal Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran dijelaskan krisis moneter di Indonesia saat itu terjadi karena krisis finansial Asia 1997-1998. Krisis moneter ini telah memporak porandakan perekonomian beberapa Negara seperti Thailand, Malaysia, Korea Selatan termasuk Indonesia. Pada bulan Juni 1997, Indonesia terlihat masih jauh dari krisis. Indonesia memiliki fundamental ekonomi di masa lalu yang dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank Dunia (lihat World Bank: Bab 2 dan Hollinger).  Namun di balik itu terdapat beberapa kelemahan struktural seperti peraturan perdagangan domestik yang kaku dan berlarut-larut, monopoli impor yang menyebabkan kegiatan ekonomi tidak efisien dan kompetitif. Pada saat yang bersamaan kurangnya transparansi dan kurangnya data menimbulkan ketidak pastian sehingga masuk dana luar negeri dalam jumlah besar melalui sistim perbankan yang lemah. Sektor swasta banyak meminjam dana dari luar negeri yang sebagian besar tidak di hedge. Dengan terjadinya krisis moneter, terjadi juga krisis kepercayaan. (Bandingkan juga IMF, 1997: 1). Pada Agustus 1997 rupiah diserang dan  bursa efek menyentuh titik terendahnya pada September 1997. Memasuki 1998 keadaan ekonomi semakin memburuk, nilai Rupiah terhadap Dollar tertekan hingga Rp 16.000 hal tersebut disebabkan pasokan barang yang menurun dengan tajam karena kegitan produksi berkurang dan jalur distribusi terganggu karena rusaknya sentra-sentra perdagangan karena kerusuhan Mei 1998. Dilansir dari laman kompas.com berubahnya kondisi ekonomi di Indonesia menjadi terpuruk pada 1997-1998. Terdapat beberapa kelemahan utama, yaitu:

  • 1.      Sistem keuangan yang terbuka namun tidak didukung oleh pengawasan yang baik.
  • 2.      Nilai tukar mata uang tetap yang efektif.
  • 3.     Aliran dana investasi asing yang masuk secara besar dan cepat, terutama pinjaman jangka pendek.

          Timbulnya krisis berkaitan dengan jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS secara tajam, yakni sektor ekonomi luar negeri, dan kurang dipengaruhi oleh sektor riil dalam negeri, meskipun kelemahan sektor riil dalam negeri mempunyai pengaruh terhadap melemahnya nilai tukar rupiah. Krisis pecah karena terdapat ketidak seimbangan antara kebutuhan akan valas dalam jangka pendek dengan jumlah devisa yang tersedia, yang menyebabkan nilai dollar AS melambung dan tidak terbendung. Tindakan yang harus segera didahulukan untuk mengatasi krisis ekonomi ini adalah pemecahan masalah utang swasta luar negeri, membenahi kinerja perbankan nasional, mengembalikan kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri terhadap kemampuan ekonomi Indonesia, menstabilkan nilai tukar rupiah pada tingkat yang nyata, dan tidak kalah penting adalah mengembalikan stabilitas sosial dan politik.

          Melihat historis tersebut bukan untuk petama kalinya Indonesia  mengalami krisis ekonomi. Selain pada tahun 1998, Indonesia juga pernah mengalami krisis ekonomi pada tahun 2008. Dan kini di tahun 2020 ekonomi Indonesia juga sedang mengalami krisis akibat adanya pamdemi global Covid-19. Meskipun pada setiap krisis terjadi tentu saja latar belakangnya berbeda beda. Krisis ekonomi akibat adanya Covid-19 ini dirasakan pula oleh setiap Negara karena virus ini menyebar dengan begitu cepat dan melumpuhkan seluruh sector termasuk sector ekonomi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai pertumbuhan ekonomi yang mengarah pada resesi yang telah disinggung diatas, tentu saja ini menjadi ancaman bagi Negara ini. Pemerintah harus memikirkan jalan keluar agar situasi tersebut tidak terjadi. Namun, beberapa ahli mengatakan krisis ekonomi saat ini berbeda dengan krisis ekonomi sebelumnya dan krisis ekonomi saat ini tidak separah krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998. Meski begitu, krisis ekonomi akibat pandemic memang merupakan suatu hal yang baru disamping kita memikirkan kondisi ekonomi nya kita juga harus memikirkan sisi kesehatan dan keselamatan masyarakat. Berbagai kebijakan perlu diambil pemerintah untuk dapat menekan virus Covid-19 juga memperbaiki kondisi ekonomi yang mulai goyah. Langkah langkah strategis yang dulu pernah dipakai saat terjadi krisis ekonomi pada tahun 1998 dan 2008 mungkin bisa kembali diterapkan. Tentu saja dengan memilih dan memilah langkah yang mana yang cocok diterapkan pada kondisi saat ini.

          Di era yang sudah serba digital seperti saat ini kita dapat memanfaatkan nya sebagai peluang. Selagi pemerintah memikirkan untuk kesehatan dan perbaikan ekonomi dalam skala besar agar bisa bertahan dan memulihkannya kembali, di sector kecil seperti UMKM dan lainnya dapat menjadikan era digital ini untuk kita bangkit kembali. Model penjualan dan promosi bisa dialihkan pada sector digital agar usaha yang sudah dirintis tidak gulung tikar dan dapat meningkatkan pendapatan kembali. Di saat pandemic seperti ini, intesitas seseorang berselancar di sosial media mengalami peningkatan karena komunikasi dengan saling bertemu kini dibatasi agar penyebaran vitus Covid-19 ini dapat ditekan dan sebagai alternative komunikasi lainnya kita menggunakan media sosial. Menurut Analytic Data Advertising (ADA), aktivitas belanja online naik 400% sejak Maret 2020 akibat pandemi Covid-19 ini. Tentu saja ini merupakan peluang yang sangat bagus untuk kita kembali meningkatkan penjualan.

          Dengan kita beralih pada sector digital para UMKM dan lainnya yang berpengaruh membantu perekonomian, ini supaya kita bisa tetap bertahan dan beradaptasi dengan keadaan selain itu dengan sector digital kita mengindari atau meminimalkan kontak langsung sehingga sector digital cocok digunakan saat pandemic Covid-19 seperti saat ini. Di balik itu semua, setiap orang berharap agar pandemic ini cepat selesai dan teratasi agar kehidupan kembali berjalan normal juga sisi kesehatan dan ekonomi pun segera pulih begitupula dengan sector yang ada dalam kehidupan.

 

BIODATA PENULIS

          Penulis, Silvia Melinda Oktaviani. Lahir di kota Sukabumi, 22 Oktober 2000. Sedang menempuh pendidikan S1 prodi Manajemen Universitas Muhammadiyah Surakarta. Senang menulis dalam kesunyian tidak ada yang menganggu.

Posting Komentar

0 Komentar