PENDAHULUAN
Menegakkan
keadilan dan kesetaraan gender pada laki-laki dan perempuan adalah bagian dari
masalah sosial yang tidak berhenti dibicarakan. Pembahasan menarik mengenai
perempuan mengakibatkan munculnya gerakan feminisme pada masa renaissance yang
dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Pada masa
ini feminisme muncul sebagai filsafat dan gerakan sosial yang dimana menentang
pria yang mendominasi pada berbagai bidang kehidupan dan lama-kelamaan mengarah
kepada penindasan terhadap kaum perempuan. Perempuan hanya dibebani pada
kewajiban rumah tangga dan mengasuh anak serta dianggap tidak mempunyai hak dan
peran dalam bermasyarakat.
Feminisme
yang lahir di tengah-tengah bangsa barat yang menyingkarkan perempuan sebagai
kelas dua, sebenarnya mempunyai kesamaan dalam Islam. Bahkan
jauh sebelum masa renaissance Islam bergerak lebih dulu dalam memaparkan
tidak adanya perbedaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan. Sesuai
dalam ajaran Islam yang berlandaskan Al-Quran dan Sunnah Rasulullah, perempuan
juga dikembalikan pada fitrahnya sebagai perempuan dan manusia.
Kesadaran
dalam memperjuangkan kesetaraan gender ini semakin berkembang pesat ke seluruh
penjuru dunia, demikian juga halnya di Indonesia. Menilik
pada sejarah Indonesia pada masa kolonial dalam masyakarat masih banyak terjadi
ketimpangan gender. Perempuan diposisikan sebagai kaum yang lemah,
terdiksriminasi dan memiliki pengalaman dan pengetahuan minim. Hal tersebut dialami oleh salah satu perempuan di Jawa yaitu Raden Ayu Kartini dengan
panggilan akrab Kartini atau Trinil. Perjuangan Kartini
menjadikan gerakan feminis di Indonesia semakin berkembang yang pada umunya
dilakukan dengan model terstruktur dalam sebuah lembaga atau organisasi
keperempuanan. Hal ini
juga didukung oleh kondisi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama muslim,
sehingga hampir sebagian besar
mendukung adanya gerakan feminis ini untuk memperjuangkan keadilan dan
kesetaraan gender.
Seiring
dengan perkembangan zaman gerakan feminisme dapat merambah ke segala bidang di
Indonesia, mulai dari persoalan domestik sampai persoalan politik. Perempuan
boleh keluar masuk rumah dengan bebas tanpa adanya pembatasan gender lagi.
Sehingga, perkembangan gerakan feminisme sekarang ini selain ada sisi positif
juga ada sisi negatifnya.
PEMBAHASAN
Feminisme
berasal dari bahasa latin yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Inggris
yaitu femina menjadi femine yang berarti sifat-sifat sebagai
perempuan. Sebagai gerakan yang menuntut persamaan
hak antara laki-laki dan perempuan sering didefinisikan sebagai feminisme.
Teori feminisme ini didasari oleh kebutuhan untuk memahami penyebab
ketertindasan perempuan serta bertujuan membalikkan tatanan sosial yang
didominasi laki-laki. Gerakan feminisme mengalami perkembangan pada tahun
1960-an sampai awal tahun 1970-an dan dikenal dengan periode kebangkitan
feminisme gelombang kedua oleh seorang aktivis sosial utopis, Charles Fourie.
Terdapat
beberapa tahapan feminisme menurut Kristeva, diantaranya yaitu; pada tahapan
pertama feminisme mencakup pada kesenjangan politik, teutama pada hak pilih
perempuan dalam bidang politik. Tahapan kedua feminisme
dikenal dengan istilah Women Liberation yang merupakan reaksi perempuan
atas ketidakpuasan terhadap praktik diskriminasi. Pada tahapan feminisme ketiga
mengusung keragaman dan perubahan seperti globalisasi, postkolonialisme,
poststrukturalisme, dan postmoderanisme. Dari ketiga tahapan tersebut tetap menempatkan
perempuan pada posisi yang semestinya meskipun berbeda-beda fokus perhatian di setiap tahapan. Kalangan
feminis berusaha memberi semangat dan inspirasi mengenai pentingnya posisi dan
peran seorang perempuan.
Pendidikan
kesetaraan gender di Indonesia diawali oleh Kartini dengan tujuan untuk
memperjuangkan persamaan hak untuk perempuan. Banyak terjadi fenomena
ketimpangan gender salah satunya pendidikan. Akibat interaksi Kartini dengan orang-orang barat,
pendidikan kesetaraan gender ini dimulai. Beliau
memperjuangkan kesetaraan gender dan mengkritisi keadaan yang dipertahankan
oleh koloni Belanda. Meraka yang berkuasa membuat peraturan yang mendukung
adanya ketimpangan gender ini khususnya dalam dunia pendidikan. Sebagai langkah
nyata dalam emansipasi adat istiadat
Jawa yang bersifat feodal-patriarki Kartini merintis pendidikan kesetaraan
gender dengan tujuan tidak terjadi ketimpangan gender khusunya dalam
pelaksanaan pendidikan. Pendidikan ini menjadi hal yang kontoversi karena
melunturkan budaya masyarakat Indonesia dan sebagai alat dari gerakan feminisme
serta masih menjadi tabu untuk didengar pada waktu itu. Tentu banyak hambatan dalam melakukannya,
Kartini dicibir oleh masyarakat bahkan keluarga sendiri. Namun, berkat kegigihannya Kartini mampu mendirikan
Sekolah Gadis bumiputera di Jawa dan Rembang waktu itu.
Seperti
yang telah kita ketahui, sekarang ini dalam hal pendidikan saja perempuan sudah
tidak dibedakan dengan kaum laki-laki. Mereka dapat menempuh pendidikan
setinggi mungkin. Bahkan, ada yang berpendapat bahwa pendidikan bagi seorang
perempuan justru sangat penting. Perempuan sebagai ibu harus memiliki
pendidikan yang baik untuk mendidik anak-anaknya agar kelak menjadi pribadi
yang berpendidikan, maka dengan begitu akan tercipta pribadi yang baik dan
bermanfaat bagi orang lain.
Bukan hanya hubungan
laki-laki dan perempuan saja yang diperjuangkan oleh Kartini, beliau juga
memperjuangkan dalam lingkup publik dan sosial. Terbukti bahwa, kritik-kritik
yang disampaikan oleh Kartini pada buku “Panggil Aku Kartini Saja” yang
diterbitkan oleh Pramudya Ananta Toer yang menekankan perhatiannya bukan hanya
pendidikan tetapi juga pada keagamaan dan sosial. Dalam bidang sosial dan
politik, perempuan juga diberikan kesempatan untuk tampil di depan. Perempuan dapat aktif di
sosial masyarakat sesuai dengan keahliannya. Mereka dapat bekerja dan meniti karir untuk sekedar memiliki penghasilan
sendiri atau bahkan menyukupi kebutuhan keluarga seperti halnya laki-laki. Selain itu, pada dunia politik banyak pemimpin-pemimpin yang tergabung dalam berbagai
partai politik duduk di kursi kekuasaan baik pada tingkatan terendah sampai
dengan tingkatan tertinggi, sebagai contoh jabatan Presiden RI pernah diisi
oleh seorang perempuan, yaitu Megawati. Hal ini menjadi bukti bahwa ketimpangan gender sudah berkurang.
Kartini
juga memiliki pendirian bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan oleh Tuhan
dengan derajat dan hak yang sama. Namun, emansipasi
perempuan Kartini menolak bahwa emansipasi ini melihat perempuan sebagai
makhluk yang terpisah dari keluarga dan memiliki kekuasaan atas hak dan
kewajiban tersendiri. Kebebasan seorang perempuan terletak pada kesadaran akan
keterkaitan dengan laki-laki, suami dan keluarganya. Tidak seperti pada gerakan
feminisme barat, Kartini memandang seorang laki-laki sebagai mitra perempuan
dalam meningkatkan derajat serta kedudukannya.
Pandangan
diatas sejalan dengan syariat agama Islam. Sejak
penciptaan manusia, perempuan
sudah disederajatkan dengan laki-laki. Mereka memiliki hak dan kewajiban yang
sama tidak ada diskriminasi. Dalam
penciptaan manusia pertama oleh Allah yaitu Adam, Allah mengetahui kalau kehidupan
Adam tidak sempurna, maka Allah menciptakan Hawa sebagai pasangannya. Hal
ini dapat disimpulkan bahwa perempuan sebagai pelengkap dan penyempurnaan dalam
kehidupan laki-laki, dan begitupun sebaliknya. Bahkan seorang perempuan dalam
Islam sangat dijujung kehormatannya, karena perempuan sebagai Ibu. Kewajiban
menghormati seorang ibu berkali-kali disebutkan dalam ajaran agama Islam. Seorang anak harus lebih patuh
dengan ibu, karena beliau yang mengandung, melahirkan, dan merawat anaknya
dengan penuh kasih sayang. Islam
juga memposisikan perempuan sesuai dengan
hak-hak dan kodratnya dengan cara menjaga sifat-sifat dan karakter alaminya,
islam menjaga sifat malu dan ahklak perempuan, memberikan hal belajar dimanapun
tetapi dengan menjaga diri dari perzinaan, menganjurkan kaum perempuan yang
nantinya sebagai ibu untuk mempelajari ilmu yang berkaitan dengan pendidikan
demi anaknya kelak, memberikan hak dan sosial politik dalam masyarakat serta
memberikan hak atas
material dan memiliki pekerjaan asalkan tetap menjaga kehormatannya.
Perjuangan perempuan
telah membuahkan hasil. Zaman sekarang ini perempuan bebas berinteraksi dengan
siapapun dan dalam dalam bidang apapun, pendidikan, politik, pekerjaan dan
sebagainya. Namun, tidak
serta-merta hak dan kewajiban perempuan
dan laki-laki sama, terdapat
batasan-batasan yang sesuai dengan etika dan aturan dalam bermasyarakat.
Terlebih lagi negara Indonesia mayoritas beragama islam maka masyarakat dapat
menempatkan hak dan kewajiban sesuai etika dalam islam.
KESIMPULAN
Feminisme bertujuan
menghilangkan adanya ketimpangan gender antara perempuan dan laki-laki.
Kedudukan dan derajat perempuan dan laki-laki adalah sama yang semua memiliki
hak dan kewajiban masing-masing. Oleh karena itu, feminisme sangat penting
untuk diperjuangkan demi sebuah kemajuan baik untuk kaum perempuan itu sendiri
maupun untuk kemajuan bangsa melalui peran perempuan. Sebagai individu beragama
Islam bahkan perempuan mendapat penghormatan lebih, namun tidak berarti
perempuan diatas laki-laki akan tetapi mereka saling melengkapi dan
menyempurnakan kehidupannya. Terdapat juga batasan-batasan sebagai perempuan
yang belandaskan pada Al-Qur’an dan Sunnah, sehingga dapat menggunakan hak dan
kewajiban sesuai dengan kodratnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Bendar,
Amin. 2019. Feminisme dan Gerakan Sosial. Al-Wardah:Jurnal Kajian Perempuan,
Gender dan Agama, Vol.13 No.1.
Choirunnisa, Aida. 2018. Pendidikan Kesetaraan
Gender:Analisis Feminis Liberal Tentang Konsepsi Pendidikan R.A. Kartini.
Universitas Negeri Jakarta.
Hasyim,
Zulfahani. 2012. Perempuan
Dan Feminisme Dalam Perspektif Islam. Muwazah, Vol.4 No.1.
Tentang Penulis
Wayan
Novitasari, lahir di Karanganyar dan sekarang tinggal di Kabupaten Karanganyar,
Jawa Tengah. Saya sebagai salah satu mahasiswi di
Universitas Muhammadiyah Surakarta jurusan Akuntansi. Untuk kontak Instagram
@wayan_132.
0 Komentar