Masyarakat Indonesia tentu tidak asing lagi dengan julukan Laskar Joko Tingkir yang tersemat untuk Persela, tim sepak bola kebanggaan warga Lamongan, Jawa Timur. Hal ini berkaitan dengan keberadaan makam Mbah Anggungboyo yang dianggap sebagai makam Joko Tingkir/Raden Mas Karebet/Sultan Hadiwijaya (1549-1582 M). Namun bila ditelisik lebih lanjut, keberadaan Joko Tingkir di Lamongan hanya sebatas pada dugaan cerita rakyat (folklore), sedangkan lebih banyak jejak sejarah Prabu Airlangga di Lamongan yang terbukti adanya. Di sini, penulis bukan ingin membandingkan hasil perjuangan kedua tokoh tersebut, penulis hanya ingin meluruskan anggapan mengenai Joko Tingkir dan Prabu Airlangga yang pernah berpijak di bumi Lamongan sebagai identitas kesejarahan yang patut dibanggakan. Kenapa patut dibanggakan? Karena identitas sejarah memiliki kaitan dengan pengembangan watak atau karakter bangsa, sehingga dapat membantu kita untuk memilih arah yang baik dalam menentukan langkah ke depan.
Kata
Kunci : Laskar Joko Tingkir, Laskar
Airlangga, Lamongan
Kisah Joko Tingkir dan Buaya
Kegigihan Joko Tingkir sebagai
pendiri Kesultanan Pajang (1568-1587 M) tentu diharapkan dapat menjadi
inspirasi, sekaligus spirit tersendiri untuk masyarakat Lamongan. Sayangnya,
tidak ada sumber sejarah yang menyebutkan bahwa Joko Tingkir pernah menetap dan
dikuburkan di Lamongan. Folklore yang berkaitan dan diyakini menandakan
keberadaan Joko Tingkir di Lamongan, mengisahkan perjalanan Joko Tingkir ketika
menyusuri sungai yang konon adalah Bengawan Solo.
Alkisah,
Joko Tingkir bersama tiga temanya kembali ke Demak setelah berguru kepada Ki
Ageng Banyubiru dengan menyusuri Kedung Srengenge[i] menggunakan gethek[ii].
Saat itu, muncul kawanan buaya menyerang mereka, tetapi dapat ditaklukkan.
Sebagai tebusan, kawanan buaya kemudian membantu mendorong rakit sampai ke
tujuan. Joko Tingkir dikawal kawanan buaya di sebelah kiri, kanan, depan dan
belakang sebanyak masing-masing 40 ekor.[iii] Peristiwa tersebut
kemudian diabadikan dalam gending Sigra Milir yang diciptakan oleh para
pujangga.
Jika kita
amati, para pujangga terdahulu mempunyai kebiasaan (semacam kode etik) berupa
penghalusan suatu kejadian yang menyangkut raja atau istana dengan suatu
kiasan, karena kejadian tersebut dianggap kurang pantas diceritakan. Dari
kiasan-kiasan tersebut, hemat penulis, cerita nyata yang terkandung adalah;
ketika perjalanan ke Demak dan setibanya di suatu desa, Joko Tingkir dan tiga
temanya melihat beberapa gadis yang sedang mencuci baju di tepian sungai. Joko
Tingkir kemudian mencoba menggoda gadis-gadis tersebut.
Setelah
para pemuda desa tahu dan tidak suka kelakuan Joko Tingkir, maka terjadilah
perkelahian yang berlanjut dengan pengeroyokan kepada Joko Tingkir dan tiga
temannya. Karena Joko Tingkir dan ketiga temannya cukup digdaya[iv],
mereka sanggup mengalahkan para pemuda. Sehingga sebagai tebusannya, Jaka
Tingkir dikawal menuju Demak oleh para pemuda tersebut.
Pringgoboyo
dan Makam Mbah Anggungboyo
Dari folklore Joko Tingkir
naik rakit bambu tersebut, makam kuno yang terletak di Dusun Dukoh, Desa
Pringgoboyo, Kecamatan Maduran, Kabupaten Lamongan sampai sekarang masih diyakini
sebagai makam dari Joko Tingkir dengan julukan Mbah Anggungboyo. Ada juga
pendapat lain yang menganggap makam tersebut sebagai makam pengawal Joko
Tingkir. Hal ini berkaitan dengan toponimi nama desa Pringgoboyo. Dalam bahasa
Jawa, Pring artinya bambu dan Boyo artinya buaya, jika
digabungkan kurang lebih berarti bambu yang digunakan buaya. Kemudian
kata Anggung dalam bahasa Jawa artinya mengangkat atau tahapan, jika
digabungkan menjadi Anggungboyo, kurang lebih berarti tahapan ketika
menghadapi buaya.
Sedangkan di dalam buku (Sejarah Lamongan dari Masa ke Masa, 68),
dapat kita temui nama Tumenggung Onggoboyo yang memerintah Kadipaten Lamongan
(1690-1697 M). Penulis mempunyai anggapan, jika Mbah Anggungboyo dan Tumenggung
Onggoboyo adalah tokoh yang sama dengan julukan yang berbeda atau nama yang
sama namun seiring perkembangan zaman mendapat distorsi pelafalan. Pasalnya,
tidak ada sumber yang menceritakan sepak terjang Mbah Anggungboyo, serta tidak
ditemukan makam dari Tumenggung Onggoboyo. Sampai sini, Joko Tingkir sebagai
sematan utama kebanggaan Lamongan dapat kita pertanyakan kembali (?).
Prabu
Airlangga di Lamongan
Airlangga adalah salah satu raja
pembesar Jawa yang pernah memerintah pada tahun 1019-1043 M,[v]
bergelar Sri Maharaja Rakai Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga
Anantawikramottunggadewa. Untuk memberi sedikit gambaran, jasa besar Prabu
Airlangga diantaranya adalah berhasil menyatukan kerajaan dan mengangkatnya
dari keterpurukan, memperbaiki kehidupan politik, ekonomi, sosial dan
keagamaan.[vi]
Airlangga membangun Bendungan Waringin Sapta untuk mencegah banjir dan menjaga
area-area pertanian. Selain pelabuhan Hujung Galuh sebagai pelabuhan regional,
Airlangga juga membangun pelabuhan di kawasan muara sungai Bengawan Solo untuk
kepentingan perdagangan Internasional. Bangsa Kling, Arya, Gola, Singhala,
Champa, Khmer dan Remen termasuk dalam pedagang yang ada di dalamnya.
Berikutnya, keberadaan Raja Airlangga di Lamongan bisa kita identifikasi
lewat berbagai sumber baik prasasti, toponimi dan peninggalan lain yang dapat
ditemui. Setidaknya menurut tiga prasasti yakni Prasasti Cane (1021 M),
Prasasti Kamalagyan (1036 M) dan Prasasti Pamwtan (1042 M), pusat pemerintahan
kerajaan Airlangga mengalami tiga kali perpindahan mulai dari Wwatan Mas,
Kahuripan dan Dahana Pura.[vii]
Lah kok bisa di Lamongan? Prasasti Pucangan (1042 M) menyebut ri himbanging
wanagiri,[viii] Wanagiri
adalah tempat dimana Raja Airlangga pertama kali mengasingkan diri setelah
peristiwa Mahapralaya[ix].
Dosen Sejarah Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono[x]
menjelaskan jika dalam bahasa Jawa Kuno, Wana berarti lereng dan Giri
berarti gunung. Berdasarkan identifikasi, lereng gunung tersebut adalah
Gunung Pucangan yang berada di perbatasan Jombang-Lamongan. Hal ini sesuai
dengan toponimi Pucangan dan jejak sebaran arkeologis yang ada.
Lamongan
Pusat Pemerintahan Airlangga
Letak Wwatan Mas sebagai pusat
pemerintahan Airlangga, diidentifikasi oleh beberapa ahli sesuai dengan
toponimi dan letak Prasasti Wotan[xi]
yang berada di Desa Slahar Wotan, Kecamatan Ngimbang, Kabupaten Lamongan.
Berikutnya, Prasasti Terep (1032 M) menyebut Rikala Sri Maharaja Katlaya
Sangke Wwtan Mas Mara I Patakan. Ninie Susanti dalam (Airlangga : Biografi Raja Pembaharu Jawa Abad XI, 99)
menjelaskan jika Raja Airlangga pernah mengalami kekalahan sampai harus
meninggalkan keraton Wwatan Mas dan melarikan diri ke Patakan untuk menghimpun
kekuatan, sebelum akhirnya dapat mengalahkan kembali lawanya. Patakan sendiri
sekarang masuk wilayah administratif Dusun Pataan, Desa Pataan, Kecamatan
Sambeng, Kabupaten Lamongan.
Selanjutnya letak Keraton Kahuripan,
para ahli sepakat setidaknya Kahuripan dapat di identifikasi dengan lokasi yang
berada di DAS (Daerah Aliran Sungai) Brantas. Letak Kahuripan hingga masa
Majapahit masih dikenal sebagai pusat pemerintahan daerah bernama Janggala yang
diyakini merupakan salah satu bagian dari pembelahan Kerajaan Airlangga di masa
akhir.[xii]
Kira-kira letak administratif Kahuripan sekarang berada di sekitar wilayah
Kecataman Sooko, Kabupaten Mojokerto.
Kemudian untuk letak Dahana Pura
sebagai keraton terakhir Airlangga, Hassan Djafar dalam skripsinya membahas
tentang masa Majapahit Akhir dan mengidentifikasi wilayah Dahanapura dengan
wilayah Kediri, namun argumen tersebut tidak di dukung sumber sejarah tertulis,
artefak dan monumen semasa Airlangga.[xiii]
Hipotesis beberapa ahli dan pemerhati sejarah Lamongan merujuk pada Prasasti
Pamwtan yang memuat inskripsi besar kata “Dahana” tertanggal 19 Desember 964 Saka atau 1042 Masehi.
Prasasti tersebut berada di Desa Pamotan, Kecamatan Sambeng, Kabupaten
Lamongan. Sayang prasasti tersebut hilang dicuri pada tahun 2002[xiv],
sehingga yang ada di tempatnya sekarang adalah lapik asli prasasti dan replika
prasasti.
Konklusi
Penyematan Laskar Joko Tingkir
sebagai bentuk ungkapan rasa bangga dan harapan, juga sebagai upaya meneladani
semangat juang tokohnya, tidak berakar pada bukti kesejarahan yang ada.
Sehingga dapat menimbulkan kebimbangan masyarakat ketika menghadapi tantangan
ke depan, minimalnya dalam bentuk pertanyaan. Selain itu juga berdampak pada
pengaburan jejak dan peristiwa sejarah itu sendiri. Oleh karena itu, Laskar
Airlangga lebih sepatutnya menjadi sematan identitas masyarakat Lamongan yang
membanggakan, dengan dukungan sumber sejarah yang terbukti ada.
Refrensi
Eviana, Yohanes Hanan Pamungkas. “Arti Historis Prasasti Patakan dalam
Jejak Airlangga di Lamongan.” AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah, Volume
4, No. 2, Juli 2016: 297-311.
Radar Bojonegoro. “Prasasti Pamotan Hilang.” Prasasti
Pamotan Hilang. Lamongan: Radar Bojonegoro, 20 September 2002. 25 dan 31.
Rohman, Auliya. Surabaya Tribunnews : Mencari Jejak Joko
Tingkir di Lamongan. 28 Oktober 2018. https://surabaya.tribunnews.com/2018/10/28/mencari-jejak-joko-tingkir-di-lamongan
(diakses September 27, 2020).
Sarkawi B. Husain, Dkk. Sejarah Lamongan dari Masa ke
Masa. Surabaya: Airlangga University Press, 2017.
Soepana. Kisah Joko Tingkir "Sultan Hadiwijaya".
Sragen: Salinan atas kisah Joko Tingkir oleh Soekoesno Tjokrosasmito anggota
keluarga besar 1582, 1979.
Susanti, Ninie. Airlangga : Biografi Raja Pembaharu Jawa
Abad XI. Jakarta: Komunitas Bambu, 2010.
Yakub, Ahmad. Media Indonesia : Lamongan Diduga Ibu Kota
Kerajaan Kahuripan. 10 Juni 2015.
https://mediaindonesia.com/read/detail/4216-lamongan-diduga-ibu-kota-kerajaan-kahuripan
(diakses September 27, 2020).
BIODATA
PENULIS
Muhammad Fa’iq Rusydi
lahir
2001 di Lamongan, Jawa Timur adalah alumni MAN 1 Lamongan yang sekarang menjadi
mahasiswa jurusan Sejarah dan Peradaban Islam di UIN Sunan Gunung Djati
Bandung. Selain sebagai anggota aktif di Lembaga Pers Mahasiswa SUAKA, dia juga
aktif berkegiatan bersama komunitas budaya dan sejarah yang ada di Lamongan.
Hobi menulisnya dimulai sejak masih duduk di bangku sekolah dan berlanjut
hingga sekarang.
[i] Kedung adalah
bagian sungai yang dalam, sedangkan
srengenge (bahasa Jawa) artinya matahari
[ii] Sebuah rakit
yang terbuat dari bambu
[iii] Soepana. Kisah
Joko Tingkir “Sultan Hadiwijaya”. Sragen : salinan atas kisah Joko Tingkir
oleh Soekoesno Tjokrosasmito anggota keluarga besar 1582. 1979. Halaman 5.
[iv] Sakti atau
kuat sekali
[v] Eviana. 2016. Arti
Historis Prasasti Patakan dalam Jejak Airlangga di Lamongan. AVATARA, e-Journal
Pendidikan Sejarah, Volume 4, No. 2. Halaman 298.
[vi] Susanti,
Ninie. Airlangga Biografi Raja Pembaru Jawa Abad XI. Jakarta : Komunitas
Bambu. 2010. Halaman xvii.
[vii] Sarkawi B.
Husain, dkk. Sejarah Lamongan dari Masa ke Masa. Surabaya : Airlangga
University Press. 2017. Halaman 6.
[viii] Ibid, 6.
[ix] Pada tahun
1016 M ketika pernikahan Airlangga dengan putri Dharmawangsa Tguh berlangsung,
terjadi peristiwa besar yang menyebabkan Kerajaan Medang luluh lantak, diduga
karena serangan Raja Wurawari dari Lwaram. Airlangga berhasil selamat
meloloskan diri bersama Mpu Narottama. Kehidupan Airlangga sejak itu berubah
180 drajat, sehingga Airlangga harus memulai dari nol untuk membangun kembali
kerajaan.
[x] Ketika
bertandang ke Lamongan dalam acara Sinau Bareng di Situs Candi Pataan,
Kecamatan Sambeng, Kabupaten Lamongan pada Senin (21/9/2020).
[xi]
Inskripsinya telah sangat aus, namun dari bentuk prasasti dan huruf-huruf yang
tersisa dapat diambil kesimpulan jika Prasasti Wotan berasal dari masa
Airlangga.
[xii] Ibid, 6.
[xiii] Ibid, 6.
[xiv] Koran Radar
Bojonegoro, Prasasti Pamotan Hilang, Lamongan : 20 September 2002,
Halaman 25 dan 31.
0 Komentar