MELURUSKAN TRADISI ASYURO YANG SEBENARNYA

    

Semakin majunya peradaban jika tidak dibarengi dengan intelektual dan nilai religius yang kuat maka seseorang dapat tersesat. Mempelajari latar belakang suatu kejadian di masa lampau menjadi sangat penting untuk menghadapi berbagai isu-isu saat ini. Tujuan seseorang mempelajari sejarah guna meluruskan kembali kejadian di masa lampau yang saat ini berubah sesuai perkembangan zaman, agar tidak menjadi salah kaprah bagi orang awam yakni hanya tahu dan meneruskan tradisi yang dibawa nenek moyang mereka tanpa rasa ingin tahu asal usulnya terlebih dahulu. Oleh sebab itu sejarah berperan untuk meluruskan kejadian yang terjadi sebenarnya, sehingga tidak membuat pemikiran orang awam seperti kita semakin melenceng. 

Banyak anggapan atau isu-isu yang beredar mengenai bulan asyuro atau bulan muharram ini sebagai bulan yang sakral, seperti di Jawa banyak tradisi yang dilaksanakan dalam bulan tersebut, seperti setiap bulan suro orang Jawa membuat bubur merah dan jika di bulan ini tidak boleh menyelenggarakan pernikahan. Tentu hal tersebut bisa menjadi sesuatu yang besar jika diperdebatkan sebelum tahu mencari asal-usulnya terlebih dahulu. Tak jarang banyak ulama yang mudah mengkafirkan tanpa membaca atau menelusuri dahulu sejarah yang terjadi. Oleh sebab itu saya akan menyelisik sejarah mengenai bulan asyuro atau orang jawa menyebutnya dengan bulan suro agar masyarakat tidak salah kaprah mengartikan bulan asyuro atau suro ini sebagai bulan yang dianggap sakral dan penuh mistis.

Sejarah asal muasal terjadinya beberapa tradisi pada bulan asyuro ini ada kaitanya dengan khalifah Ali bin Abi Thalib dan konflik masa Bani Umayyah yang ada di Madinah. Bermula dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib pergi ke Basrah yaitu Persia untuk menyebarkan agama islam dan bertemu dengan Raja Majusi yaitu Rustum. Raja Rustum kagum kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib karena akhlaqnya yang baik dan beliau  mengambil menantu Sayyid Husein yaitu anak Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Kerajaan tersebut akhirnya berubah, yang tadinya menyembah api menjadi masuk islam. Ketika sayyidina Ali bin Abi Thalib di Madinah terjadi konflik yang membahas mengenai pengganti Rasulullah dan beliau terbunuh disana. Terbunuhnya sayyidina Ali bin Abi Thalib menyebabkan keluarga Rasulullah yang ada di Persia tepatnya di Baghdad waktu itu pulang ke Madinah. Beredar rumor bahwa Yazid anak Muawiyah suka melakukan perilaku tercela yang tidak sesuai dengan ajaran islam saat menjadi pemimpin. Masyarakat menjadi tersinggung sebab orang seperti itu dijadikan pemimpin mereka. 

Kepulangan keluarga Sayyidina Ali ini membuat animo masyarakat menyambut terlalu besar dan membuat Yazid bin Mu’awiyah marah. Yazid menganggap bahwa keluarga Sayyidina Ali akan mengambil kepemimpinannya, maka Sayyid Hasan di bunuh dengan racun. Akhirnya madinah bergejolak dan banyak yang memprovokasi Sayyid Husein untuk mengambil alih kepemimpinan. Orang-orang kuffah mendukung penuh sayyid husein menjadi khalifah. Sayyid husein tidak begitu saja mengambil keputusan, beliau berkonsultasi dengan Sayyid Ibnu Abbas yaitu sepupunya Nabi. Ibnu Abbas memberi nasihat kepada Sayyid Husein bahwa orang kuffah itu tidak pernah jujur kalau berjanji tidak pernah di tepati. Meskipun tetap di larang pamannya, Sayyid Husein tetap berangkat menuruti orang-orang kuffah, maka dari itu Sayyid Husein terkenal orang yang keras kepala. Alhasil Sayyid Husein setuju dibawa orang kuffah menuju Irak tepat sampai di Karbala, pasukan yang dikirim Yazid membunuh Sayyid Husein dengan memenggal kepalanya. Sejak saat itu setiap tanggal 10 asyuro orang syiah memperingati tragedi karbala yaitu hari meninggalnya Sayyid Husein dan menjadikannya sebagai hari suci. Mulai dari situ lahirlah kelompok syiah besar-besaran yakni apa saja yang berbau Yazid dan Umayyah harus di bunuh. Kemudian dendam ini dijelmakan menjadi kelompok besar syiah sampai sekarang. 

Maka bulan asyuro merupakan tahun duka kaum muslimin di seluruh dunia, jadi jangan dikaitkan dengan tradisi syiah, sekarang yang terjadi seolah-seolah yang berduka hanya untuk kaum syiah. Perlu di ketahui bahwa orang Persia atau kaum syiah berdukanya terlalu dalam sebab ada hubungan keluarga maka melukai dirinya sendiri kalau orang jawa menyebutnya bela pati. Dengan berdukanya kaum muslim seluruh dunia akibat meninggalnya Sayyid Husein, maka dari itu para ulama di nusantara menyebutnya bulan suro. Maka dari itu kalau bulan suro orang jawa menunda pelaksanaan hajatan atau pernikahan karena menghormati bulan duka dan di Solo ada tradisi memutari benteng dengan kotoran kerbau yang berarti ini bulan duka jangan bersolek. Ada yang bikin bubur berwarna merah dan putih, bubur merah bertanda darah dan bubur putih bertanda tulang-tulang dari Rasulullah. 

Tradisi tersebut merupakan ajaran para Wali awal, namun kita yang belum tahu asal muasal tradisi tersebut menyimpulkan dengan sendirinya bahwa tradisi tersebut merupakan takhayul terhadap Nyi Roro Kidul mantu, maka dari itu hal seperti ini harus diingatkan bersama-bersama. Seseorang yang bernama Ngabdullah adalah orang yang pertama kali mencetuskan bahwa bulan suro merupakan Nyi Roro Kidul mantu. Ngabdullah merupakan orang jawa yang miskin ikut dengan orang belanda merubah namanya menjadi Kiai Tunggul Ulung menulis dua serat yaitu Sabdo Palon Noyo Genggong dan darmo Gandul Gatoloco. Sabdo Palon Noyo Genggong menjelaskan bahwa yang menyerang majapahit adalah Raden Fatah faktanya yang menyerang majapahit ialah Girindra Wardana raja kediri yaitu keturunan Jaya Katwang yang dendam dengan Raden Wijaya akibat dendam nenek moyang terdahulu. 

Oleh sebab itu masyarakat dihimbau jangan mudah melabeli takhayyul atau syirik  terhadap tradisi yang ada di Indonesia karena hal ini menjadi sesuatu yang bisa menyesatkan pemikiran kita, ada baiknya sebelum melabeli sesuatu yang dianggap tidak baik harus  mengetahui asal usulnya terlebih dahulu. Perlu diingat juga islam masuk di nusantara tidak langsung berubah sepenuhnya, namun para Wali awal merubahnya sedikit demi sedikit dengan akulturasi budaya dan menyesuaikan dengan keadaan di wilayah tersebut tanpa paksaan maupun kekerasan dan tetap berpegang pada syariat islam. Dengan demikian bulan asyuro atau suro merupakan bulan duka cita seluruh kaum muslim di seluruh dunia. Sejarah memiliki peranan penting untuk meluruskan isu-isu yang terjadi sekarang sehingga tidak sampai terjadi konflik. Masyarakat harus mengetahui terlebih dahulu asal usul terjadinya isu yang beredar sebelum menyimpulkan, sebab jika kita menerima isu tersebut tanpa mengetahui kejadian yang sebenarnya terjadi, maka kita membuat kejahatan dalam ilmu pengetahuan seperti layaknya Ngabdullah orang miskin yang ikut Belanda.

BIODATA PENULIS

Nama : Hilda Dwi Magfiroh

TTL : Sidoarjo, 10 juni 2000

Alamat : Sidokepung Rt. 20 Rw. 05, Buduran- Sidoarjo, JATIM.

Instansi : UIN Sunan Ampel Surabaya

Email : dothilsmile@gmail.com

No. WA : 0895397058810

Posting Komentar

0 Komentar