REFLEKSI SEJARAH: USAHA MEREVITALISASI NILAI-NILAI PANCASILA DALAM JATI DIRI GENERASI MUDA DI ERA DISRUPSI

         


          Mohammad Yamin pernah berkata bahwa cita-cita persatuan Indonesia itu bukan omong kosong, tetapi benar-benar didukung oleh kekuatan-kekuatan yang timbul pada akar sejarah bangsa kita sendiri. Negara Kesatuan Republik Indonesia, berdiri kokoh di antara ribuan pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke, dan sejarah merupakan pemersatunya. Hitam dan putih sejarah bangsa inilah yang pada akhirnya membuat Indonesia dapat kuat bertahan hingga tiga per empat abad lamanya. Bukan suatu hal yang mudah, ketika harus berdiri di antara pluralisme yang membentang hebat, namun sejarah hadir sebagai satu entitas yang memperkuat keinginan para pendiri bangsa untuk mempersatukan negeri ini di bawah nama besar Indonesia. Belum cukup sampai disana, Indonesia juga harus dibenturkan dengan perkembangan zaman yang dinamikanya sungguh hebat, I Gede Widja (2002:21) menyebutkan bahwa manusia masa depan menjadi semakin materialis, legalistis, dan formalistis. Kebendaan menjadi tolak ukur dan alat   hubungan  antar   manusia serta dijadikan tujuan utama. Sangat dikhawatirkan keadaan ini dapat berujung pada pengkerdilan dan penumpulan inti serta makna kemanusiaan yang selalu dijunjung tinggi, dan diganti dengan nilai-nilai materialis dan interaksi antar sesama yang semakin impersonal (Kuntowijoyo,1997:15).

          Dapat dipahami bersama bahwa saat ini yang menjadi tantangan dari bangsa Indonesia bukanlah lagi senjata api atau agresi militer yang siap menghabisi nyawa anak bangsa. Nilai-nilai falsafah bangsa menjadi hal yang harusnya patut dikhawatirkan eksistensinya di masa ini bahkan di masa depan. Ketika anak manusia sudah menjadikan materi yang merupakan buah dari manisnya teknologi sebagai tolak ukur kehidupan dan tidak lagi mengindahkan keluhuran bangsanya maka saat itulah bangsa ini kembali menemui kehancurannya. Pudarnya rasa nasionalisme dan patriotisme menjadi dampak buruk dari era disrupsi yang membuat Indonesia harus berusaha lebih keras agar apa yang dicita-citakan sejak awal negara ini berdiri tidak luntur termakan megahnya ilmu pengetahuan dan teknologi.

          Noventari (2014) menyebutkan bahwa dunia dalam keadaaan yang tidak sempurna secara rasional, merupakan sebuah hasil yang sudah secara inheren dari hakikat manusia. Untuk memperbaiki dunia harus dengan kerja keras dengan kekuatan itu tidak dengan melawanya. Mazhab ini menegaskan secara rasional bahwa konsep moral tidak akan bisa di wujudkan secara sepenuhnya tetapi dalam hal yang paling baik harus didekati melalui perimbangan kepentingan. Mazhab ini tertarik pada fenomena sejarah dan tidak pada prinsip yang abstrak, dan lebih bertujuan untuk mengurangi tingkat kejahatan hingga pada level yang paling kecil ketimbang mewujudkan kebaikan yang absolute (mutlak). Rentetan peristiwa sejarah tentu menjadi penting untuk dijadikan refleksi bagi putra dan putri bangsa Indonesia sebagai usaha untuk mengembalikan jati diri yang setiap harinya hamper tergerus oleh kemajuan zaman dan peradaban manusia. Dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya membutuhkan sejarah untuk memperbaiki keadaan di masa depan. Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Soekarno sebagai Bapak Proklamasi Indonesia untuk jangan sekali-sekali melupakan sejarah, karena kita saat ini ada karena sejarah yang mengawali.

          Bukanlah lagi sebuah rahasia, pada era ini generasi muda Indonesia berada pada ujung tombak kemajuan peradaban bangsa sekaligus ujung tanduk dari kehancuran bangsanya sendiri. Sebagai ujung tombak dari kemajuan peradaban bangsanya, generasi muda Indonesia merupakan garda terdepan dalam penentuan arah langkah bangsa ini kedepannya. Generasi muda merupakan iron stock sekaligus agen of change bangsa Indonesia. Melalui tangan-tangan emas generasi mudanya lah Indonesia akan mampu untuk mewujudkan cita-citanya sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Alinea ke-IV yaitu, ”...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia….” Generasi muda Indonesia juga yang nantinya akan memegang tongkat estafet kepemimpinan yang mana itu berarti bahwa perubahan besar bangsa Indonesia hanya dapat dilakukan dengan usaha cerdas generasi mudanya. Namun, di sisi lain, tidak menutup mata bahwa nasib bangsa ini juga berada di ujung tanduk karena generasi muda nya yang mulai lalai dan lupa dengan nilai-nilai luhur bangsanya sendiri. Hal ini tentu dapat diantisipasi dengan cara menilik pada sejarah bangsa Indonesia terdahulu, mulai dari sebelum kemerdekaan, usaha merebut kemerdekaan, hingga pemberontakan- pemberontakan yang memicu disiintegrasi bangsa sampai puncaknya pada Reformasi 1998. Menurut Mohammad Yamin, kajian sejarah modern Indonesia harus dilakukan pada kaidah ilmiah dan berjiwa nasionalitik yang hasilnya dapat berfungsi menumbuhkan kesadaran nasional. Perlu adanya kesadaran di setiap diri anak bangsa dengan melakukan kajian sejarah yang berdasar pada nilai-nilai nasionalisme.

          Melakukan kontemplasi dan refleksi melalui sejarah merupakan sebuah solusi di era disrupsi untuk kembali menghidupkan nilai-nilai Pancasila sebagai sebuah jati diri generasi muda bangsa Indonesia. Dengan sejarah kita dapat menilik bagaimana proses perumusan panjang Pancasila dan bagaimana para pendiri bangsa mengumpulkan ide dan gagasan cemerlangnya untuk kemudian melahirkan Pancasila sebagai sebuah kritalisasi dari kepribadian bangsa Indonesia. Melalui sejarah pula dapat kita ketahui bahwa 75 tahun Pancasila menghebat di langit nusantara tidak lepas dari guncangan dahsyat yang berusaha kuat untuk mematikan Pancasila. Pemberontakan PKI di Madiun, DI/TII di Jawa Barat, Gerakan Aceh Merdeka hingga Gerakan 30 September 1965 sudah cukup membuktikan bahwa Pancasila tak hidup dalam arus yang tenang. Berbagai usaha yang mengguncang integrasi bangsa Indonesia, tanpa Pancasila Indonesia akan tutup usia sebelum kata Indonesia itu sendiri selesai ditulis. Untuk itulah penting bagi generasi muda untuk mengenal lebih jauh sejarah bangsanya. Ibnu Khaldun (1332-1406) seorang sejarawan dan sosiolog muslim yang terkenal sebagai teoritisi dalam ilmu sejarah mengatakan bahwa sejarah adalah ilmu berdasarkan kenyataan dan bertujuan agar manusia sadar akan perubahan-perubahan dalam alam sekitar dan masyarakat untuk menyempurnakan kehidupannya (C.f.H. Haikal, 1983). Sejalan dengan hal tersebut dan sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa sejarah memegang peranan penting dalam menentukan nasib suatu bangsa di masa yang akan datang, karena melalui sejarahlah kita belajar bahwa terdapat kesahalan-kesalahan yang dilakukan para pendahulu yang hampir menggoyahkan pondasi negeri tercinta.

          Selanjutnya jika kembali pada konstitusi Indonesia maka sesuai dengan Undang- undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 yang mengamanatkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Selanjutnya ditegaskan bahwa pendidikan nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Tujuan pendidikan nasional tersebut berusaha menyampaikan bawha melalui pendidikan hendak diwujudkan generasi muda bangsa yang memiliki berbagai kecerdasan, baik kecerdasan spiritual, emosional, sosial, intelektual maupun kecerdasan kinestetika. Pendidikan nasional memiliki misi mulia, yaitu membangun pribadi yang memiliki ilmu pengetahuan, meningkatkan kemampuan teknis, mengembangkan kepribadian yang kokoh dan membentuk karakter yang kuat. Maka adalah sebuah urgensi yang nyata untuk menumbuhkan watak dan kepribadian yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Multikultural bangsa Indonesia yang tersirat dalam semboyan “Bhineka Tunggal Ika” menjadi tantangan yang nyata dalam mencapai tujuan tersebut.

          Widisuseno (2012) mengungkapkan bahwa istilah ”kesatuan” dalam NKRI sebagai penjelmaan Bhineka Tunggal Ika tidak sekedar mengandung arti fisik, tetapi psikis dan kultural. Tidak juga dalam arti aggregasi yang atomistik dan integrasi struktural, tetapi kesatuan yang memiliki derajat tertinggi yaitu integrasi kultural yang didalamnya mengandung solidaritas nasional (national solidarity) yang dilandasi nilai- nilai dasar (core values) kehidupan bersama. Sejak dahulu nilai nilai dasar tersebut telah dijadikan prinsip kehidupan bahkan pandangan hidup Bersamaan dengan nilai-nilai tersebut, Pancasila juga membawa amanat dalam setiap butir-butirnya. Pancasila sendiri merupakan berperan sebagai staats fundamental norm, philosofische grondslag, dan way of life bangsa Indonesia yang harus terus hidup dalam diri putra dan putri ibu pertiwi. Tanpa sejarah maka generasi muda ibu pertiwi tidak akan dapat mempelajari hal-hal tersebut secara komprehensif dan menanamkannya dalam diri dengan sempurna. Tsabit Azinar Ahmad dalam jurnalnya (2015:2) juga berkata bahwa Pendidikan sejarah memiliki peran penting terhadap pembangunan karakter masyarakat.

          Maka dari itu, penting bagi generasi muda bangsa Indonesia untuk melakukan refleksi sejarah secara ilmiah dan berjiwa nasionalisme tinggi untuk kembali merevitalisasi nilai-nilai Pancasila. Hal ini dikarenakan sebagaimana yang kita ketahui bahwa Pancasila adalah jantungnya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang harus terus terpatri sebagai jati diri bangsa Indonesia. Penulis meyakini walau sulit, generasi muda tetap dapat mengembang amanah tersebut karena sebagai generasi muda di zaman millennium mereka memiliki kemampuan untuk discovery, self-educate. Penguasaan teknologi membuat mereka memproses informasi dengan sangat cepat, sehingga mereka memiliki kesempatan untuk lebih inovatif (Umamah, 2017).

 

DAFTAR REFERENSI:

Ahmad, Tsabit Azinar. (2014). Kendala Guru Dalam Internalisasi Nilai Karakter Dalam Pendidikan Sejarah. Jurnal.

Haikal, Hussain. (1983b). Ibn Khaldun. Informasi, No. 1, Th XIII.

I, Widisuseno. (2012). Pendidikan Berbasis Multikulturalisme Suatu Upaya Penguatan Jati Diri Bangsa. Humanika, Vol. 15, No.9.

Kuntowijoyo. (1997). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Budaya.

Noventari, Widya. (2014). Peran Diplomasi Politik Luar Negeri dan Angkatan Perang dalam Mewujudkan Stabilitas Nasional. Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Vol. 27 No. 2.

Umamah, Nurul. (2017). Pembelajaran Sejarah Kesiapannya Menghadapi Tantangan Zaman. Kapita Selekta ((Pendidikan) Sejarah Indonesia) Jilid 4. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Widja,I Gde. (2002). Menuju Wajah Baru PendidikanSejarah. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.


BIODATA PESERTA


Nama : Annisa Fadillah

NIM : 1900339

Tempat, Tanggal Lahir : Kota Bumi, 6 September 2001

Universitas : Universitas Pendidikan Indonesia, Kota Bandung

Fakultas: Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

Jurusan : Pendidikan Kewarganegaraan

Kelas/Semester : 2019 B/3

Alamat Domisili : Jl. Bendungan, Gang. Gading, Kelurahan Pasar Banjit, Kecamatan Banjit, Kabupaten Way Kanan, Provinsi Lampung.


Posting Komentar

0 Komentar