Pendidikan
merupakan sarana strategis untuk meningkatkan kualitas suatu bangsa, karenanya
kemajuan suatu bangsa dapat diukur dari kemajuan pendidikannya. Keyakinan
tersebut telah diyakini oleh bangsa Indonesia. Namun kenyataannya sistem
pendidikan Indonesia belum menunjukkan keberhasilan yang baik. Bidang
pendidikan menjadi tumpuan harapan bagi peningkatan kualitas bangsa.
Menurut ketentuan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 yang terletak pada Bab VI pada pasal 13 ayat 1 menyebutkan bahwa jalur pendidikan di Indonesia terdiri dari pendidikan formal, pendidikan non formal, dan pendidikan informal yang bertujuan untuk saling memperkaya dan melengkapi pengetahuan.
Pendidikan non formal adalah pendidikan yang biasanya banyak untuk anak yang masih dalam usia belia atau juga bisa disebut sebagai penunjang kegiatan belajar formal. Contohnya ialah seperti tempat kursus atau les, seperti Kursus menari, bahasa inggris, music, komputer dan lainnya. Memang tidak semua kalangan masyarakat mampu mengenyam pendidikan non formal ini karena faktor biaya. Akan tetapi saat ini juga sudah ada pendidikan non formal yang disediakan secara gratis baik dari pemerintah atau pihak swasta.
Sedangkan pendidikan informal adalah yang biasanya dilakukan secara mandiri dari diri sendiri karena munculnya kesadaran akan tanggung jawab dalam menerapkannya. Pendidikan informal bisa juga dalam lingkungan keluarga, akan tetapi orang tua memegang peran penting disini. Kenapa? Karena orang tua adalah teladan dan panutan bagi anak-anaknya, jadi orang tua dituntut agar mempunyai pengetahuan serta keahlian yang cukup yang tentu akan memberikan dampak positif pada anak. Contoh pendidikan informal ialah Agama, Budi Pekerti, Etika, Sopan Santun, Moral, dan Sosial.
Selain itu menurut yang tertera pada pasal 1 ayat 7 dengan nomor UU yang sama mengatakan bahwa maksud dari jalur pendidikan ialah wahana atau tempat yang dilalui oleh peserta didik guna mengembangkan potensi dalam diri, melalui proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan tersebut.
Pendidikan
sendiri terbagi menjadi tiga, yaitu pendidikan formal, pendidikan non formal,
dan pendidikan informal. Pendidikan formal adalah pendidikan yang terstruktur
serta memiliki tingkatan atau jenjang, yang dilaksanakan di sekolah dengan
syarat tertentu yang telah ditetapkan pemerintah.
Dimana
pendidikan formal terfokus pada peningkatan skill dasar dalam pengetahuan mata
pelajaran yang biasa kita temui di sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Beda
halnya dengan pendidikan informal dimana ilmu pengtahuan didapat melalui
softskill yang tidak diajarkan secara langsung seperti public speaking, time
management, dan hak tersebut biasanya didapat melalui kegiatan yang kita ikuti
bisa organisasi atau kerelawanan.
Pada
dasarnya pendidikan di Indonesia sudah menerapkan wajib belajar selama 12 tahun
dimana itu dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas. Namun masih banyak
yang tidak bisa sekolah dengan alasan finansial yang tidak mampu mencukupi
biaya kebutuhan sekolah tersebut. Pemerintah pun sudah mengupayakan bantuan
berupa subsidi terhadap siswa-siswa yang kurang mampu seperti bantuan KIP,
Bidikmisi, dll.
Melihat program yang diberikan pemerintah tersebut, seharusnya banyak rakyat yang sudah bisa sekolah khususnya yang dari kalangan menengah ke bawah. Pertanyaanya adalah bagaiana kualitas pendidkan yang di Indonesia?
Hal tersebut sering dibahas di bebrbagai forum nasional, maupun diskusi lainnya. Banyak yang berpendapat bahwa pendidikan di Indonesia masih Javasentris, dimana pendidikan berpusat di Jawa yang diterapkan di seluruh wilayah Indonesia. Hal tersebut tentunya menjadi polemic bagi masyarakat yang berada di luar Jawa yang dirasa kurang bisa menyerap apa yang diajarkan di pulau Jawa khususnya Indonesia bagian timur.
Melihat sejarah,, pendidikan Indonesia tidak begitu berkembang seperti yang sekarang. Secara de jure cikal bakal sistem pendidikan nasional dianggap terjadi pada tahun 1922, saat Taman Siswa didirikan Ki Hadjar Dewantara dan secara tegas menyatakan dirinya sebagai “lembaga pendidikan nasional”. Nasionalisme di Taman Siswa pada masa awal ditandai dengan perekrutan guru-guru yang berasal dari aktifis-aktifis pemudi/a pergerakan kemerdekaan, pembiayaan yang dikelola secara otonomi berbasis swadaya kerakyatan daerah dan berpulang kepada nilai-nilai budaya lokal. Klaim de jure ini dibantah oleh penulis Anton Dwisono Hanung Nugrahanto. Dalam tulisannya secara gamblang ia menyorot bahwa cikal bakal sistem pendidikan nasional justru ditanamkan oleh Gubernur Jenderal Herman William Daendels dan Gubernur Jenderal Van Heudtz. Apabila klaim bahwa Taman Siswa merupakan cikal bakal pendidikan nasional karena ke-swadaya-annya, maka klaim Anton adalah:
- Daendels adalah bapak sekolah
nasional karena ia yang menginisiasi pendirian “Sekolah Ronggeng” terutama
di sepanjang Anyer-Panarukan. “Sekolah Ronggeng” pertama
didirikan pada 1810 di Cirebon atas dorongan Daendels kepada Pangeran
Cirebon. Selanjutnya
pada 1811 Daendels mendirikan sekolah bidan pertama di Nusantara untuk
menangani kasus kematian bayi yang tinggi.
- Van Heutz adalah bapak sistem
pendidikan nasional karena pada 1907 usulannya untuk pengadaan sekolah
rakyat atau sekolah desa yang dikelola secara sistematis oleh pemerintah
pusat Hindia Belanda disetujui pemerintah.
3.
Mengutip jurnalis dan peneliti Reiza Patters dari liputan
Tirto.ID, dalam sejarah pendidikan Indonesia, Pemerintah melalui Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah melakukan 11 kali pergantian
kurikulum pendidikan nasional dalam rentang 1947-2013. Berikut lini masanya :
1947 – 1964: Rentjana Peladjaran Dirintji Dalam Rentjana
Peladjaran Terurai
1964 – 1968: Rentjana Pendidikan Dasar
1968 – 1974: Koerikoeloem Sekolah Dasar
1974 – 1975: Kurikulum Proyek Perintis Sekolah
Pembangunan
1975 – 1984: Kurikulum Sekolah Dasar
1984 – 1994: Cara Belajar Siswa Aktif
1994 – 2004: CBSA 1994
2004 – 2006: Kurikulum Berbasis Kompetensi
2006 – 2013: Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
2013
– saat ini: Kurikulum 2013
Pergantian
kurikulum itu sudah pasti menyulitkan para siswa. Masih segar dalam ingatan,
berbagai kisah haru datang dari siswa-siswi akibat tak mampu memenuhi standar
kurikulum yang terus berganti. Dimulai ketika Ujian Akhir Nasional (UAN)
mensyaratkan kelulusan siswa dalam tiga mata pelajaran: Matematika, Inggris,
dan Bahasa Indonesia. Lalu di tahun berikutnya, nilai standar kelulusan yang
diminta pemerintah naik, hingga mata pelajaran yang diujikan ikut bertambah:
Matematika, Inggris, Bahasa Indonesia, IPA, dan IPS. Satu demi satu kisah sedih bermunculan dari para siswa
lantaran stres dan tidak lulus. Salah seorang siswa kelas XII SMA Khadijah
Surabaya, Nurmillaty Abadiah, pada tahun 2014, pernah menulis surat terbuka
kepada Mendikbud M Nuh tentang kekesalannya saat harus mengerjakan soal UAN. Tulisan
yang diberinya judul "Dilematika Unas: Saat Nilai Salah Berbicara"
itu, menceritakan bagaimana dia dan teman-temannya merasa kesulitan saat
mengerjakan soal-soal UAN, terlebih matematika. Saat UAN selesai, banyak
temannya yang menangis karena stres dan takut tidak lulus. Tatik, begitu gadis
ini akrab disapa, bahkan menantang Mendikbud M Nuh untuk mengerjakan soal
matematika selama dua jam, tanpa melihat buku maupun internet.
Indonesia memang harus terus membenahi kurikulum
pendidikannya. Sebagai negara berkembang, Indonesia masih harus banyak berbenah.
Akibat dari pergantian yang sering dilakukan generasi muda Indonesia kurang
dapat beradaptasi dan menyelesaikan masalah-masalah baru yang timbul dalam
kehidupan sehari-hari.
BIODATA PENULIS
NAMA : ALSAB NOVERUL HIDAYAT
TTL : PRINGSEWU, 4 NOVEMBER 2000
ASAL INSTANSI : UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
PRODI : AKUNTANSI
NIM : B200190359
ALAMAT : PRINGSEWU, LAMPUNG
NOMOR : 0852 7311 2519
EMAIL : alsabnov04@gmail.com
0 Komentar