Bapak
K.H Abdurrahman Wahid atau yang biasa dikenal dengan Gus Dur, pernah berkata “Saling
menghormati dan menghargai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hormati
perbedaan dan kemajemukan yang ada di Indonesia”. Bukan hanya dalam perkataan saja, Salah satu tindakannya yang mendukung toleransi di negeri
ini adalah membuat Konghucu menjadi sebuah agama yang resmi. Padahal, pada masa
Orde Baru, agama yang satu ini dilarang.
Melihat banyaknya kasus kekerasan dan kriminal yang didasari oleh
kurangnya rasa toleransi di tengah
Masyarakat tentu menjadi hal yang
miris dan berkebalikan dari apa yang di cita-citakan oleh para pejuang bangsa
ini pada masa lalu dan juga oleh Gus Dur pada masa reformasi. Hal tersebut menandakan bahwa di
Indonesia telah terjadi sebuah urgensi intoleransi yang begitu kental oleh sifat dan mental
masyarakat Indonesia sendiri, bahkan sebuah data statistik yang dirilis oleh Imparsial menyebutkan bahwa sepanjang
tahun 2019 telah terjadi 31 kasus intoleransi di Indonesia.
"Ada 31 kasus intoleransi atau pelanggaran
terhadap kebebasan beragama yang tersebar di provinsi Indonesia. Jenisnya
beragam, mulai dari pelarangan pendirian tempat ibadah, larangan perayaan
kebudayaan etnis, perusakan tempat ibadah hingga penolakan untuk bertetangga
terhadap yang tidak seagama," Pernyataan lembaga Imparsial dalam konferensi pers di kantor Imparsial, Tebet,
Jakarta Selatan, Minggu (17/11/2019).
Banyaknya kasus intoleransi ini dapat disebabkan oleh
banyak hal, salah satu nya adalah ketidaktahuan atau kurangnya pemahaman
masyarakat akan Identitas nya sendiri, sejarahnya sendiri. Padahal banyak
sekali nilai-nilai, catatan sejarah, peristiwa sejarah yang menjadi hikmah dan
pelajaran bagaimana sikap toleransi sudah dibentuk dan diterapkan dalam
masyarakat Nusantara pada saat dahulu. Tidak dapat kita pungkiri bahwa masyarakat Indonesia sangat minim akan
pemahaman dan minat nya dalam mencari nilai sejarah bangsa sendiri. Wacana penghapusan mata pelajaran sejarah oleh
Kemdikbud dalam kurikulum pendidikan baru baru ini menjadi indikasi bahwa
memang pelajaran sejarah dirasa tidak ada manfaatnya dan dianggap tidak relevan
dalam kehidupan saat ini. Oleh karenanya menjadi sebuah Urgensi dan keharusan bagi kita
untuk berusaha melakukan penanaman kembali akan
penting nya pemahaman nilai sejarah bangsa melalui pelajaraan sejarah khusus nya mengenai toleransi kepada semua kalangan masyarakat agar menjadi salah satu alternatif solusi menekan angka atau kasus intoleransi di Indonesia terus berkembang secara
pesat.
Memiliki keberagaman yang begitu luar biasa seperti
halnya Indonesia menjadi salah
satu tantangan kita bersama dalam mewujudkan toleransi yang ada di Indonesia. Kondisi Geografis Indonesia
yaitu sebuah negara Kepulauan yang dipisahkan oleh laut antara satu pulau
dengan pulau lainnya menjadi salah
satu tantangan sekaligus kelebihan yang harus kita bisa optimalkan dan atasi
segala kendala nya. Belum lagi
ditambah dalam hal karakter dan mental masyarakat Indonesia saat ini. Indonesia sekarang dengan masyarakat pada masa perjuangan atau jauh
sebelumnya, bisa dikatakan 180 derajat berbeda atau berlawanan sifat dan mental
antara keduanya.
Karakter
masyarakat Indonesia pada masa dahulu juga kental akan perbedaan seperti pada
masa sekarang. Namun yang membedakan nya adalah bagaimana sikap masyarakat
Indonesia pada masa dahulu memandang sebuah perbedaan. Jika kita
menengok jauh ke masa lalu bahkan lebih jauh lagi dari masa perjuangan yaitu
masa kerajaan atau Zaman Nusantara. Di Masa lampau Indonesia, sebuah sikap toleransi
antar umat beragama atau unsur masyarakat lainnya yang berbeda sudah terjalin
dengan baik bahkan pada saat masa Kerajaan tepatnya Kerajaan Majapahit. Bukti
yang menunjukkan bahwa kerajaan majapahit terjalin toleransi dalam kehidupan
beragama adalah peninggalan yang menunjukkan bahwa keluarga kerajaan memberikan
dukungan kepada agama Buddha dan Hindu, dan adanya para pedagang dan bangsawan
yang memeluk agama Islam.
Benang merah dari kisah kerajaan Majapahit dalam sikap
toleransi masyarakatnya dapat disimpulkan bahwa sikap toleransi di Indonesia memang
sudah ada sejak zaman Nusantara. Bukan hanya Kerajaan
Majapahit saja yang merupakan salah satu kerajaan Hindu terbesar di Indonesia
akan sikap toleransinya yang sangat
kental tetapi banyak kerajaan lainnya. Contoh lainnya adalah Kesultanan Banten, dimana sultan Banten pada saat itu memberikan
izin kepada umat Katolik menjalankan ibadahnya. Saat itu, ada beberapa pendeta
Katolik di Banten. Mereka meminta izin kepada sultan untuk mengadakan ritual
keagamaan. Sultan memenuhi permintaan mereka dengan hangat. Bahkan Sultan menyatakan dengan senang hati untuk membantu
jika diperlukan.
Selain Sultan Banten, di masa kerajaan
Gowa kebebasan ini juga sudah ada. Nicolas Gervaise (1663-1729), pendeta Katolik Prancis pada paruh kedua abad
17 yang berdiam di Thailand mencatat Sultan Alauddin (1591-1638) raja Gowa pertama yang memeluk Islam, juga menjamin umat Katolik
dari Portugis untuk menjalankan agamanya. Catatan ini berdasarkan kesaksian
orang-orang yang berkunjung ke Makassar. Bahkan, sultan dan para penggantinya seperti Sultan
Muhammad Said (1639-1653) memberi kebebasan kepada umat Katolik untuk mendirikan
gereja. “Raja Makassar mendirikan sebuah gereja yang
menakjubkan di dalam Kota Makassar yang dia berikan kepada para pedagang dari
Portugis untuk melancarkan perdagangan mereka,” tulis Gervaise. Gereja Katedral
Makassar atau nama resminya Gereja Hati Kudus Yesus Yang Mahakudus itu menjadi
gereja tertua di Makassar dan di seluruh wilayah Sulawesi Selatan dan Tenggara.
Kesaksian dari pelancong asing itu menunjukkan bahwa toleransi dan pluralisme
telah dilaksanakan oleh para penguasa kesultanan Islam di Nusantara. Oleh
karenanya jika ada masyarakat yang melakukan
tindakan intoleransi mengatasnamakan perbedaan agama, ini bukan saja kita kalah dengan nenek moyang abad 17, tapi kita
balik ke abad primitif karena tidak ada dasarnya di Indonesia modern untuk melakukan tindakan tersebut.
Disini lah peran dari pelajaran sejarah itu sendiri dalam
menangani isu yang sangat kerap terjadi bahkan sampai menembus skala Nasional
yaitu isu intoleransi yang terjadi di Indonesia. Dengan adanya penanaman dan
penyebaran akan nilai Sejarah bangsa kepada semua kalangan masyarakat sangatlah
berperan strategis untuk menangani isu Nasional ini terutama kepada masyarakat
golongan muda. Melalui pelajaran
sejarah yang banyak memuat nilai-nilai toleransi dari setiap peristiwa sejarah
yang dipelajari oleh seluruh siswa di Indonesia diharapkan mampu memupuk sikap
toleransi dan mencegah sikap intoleransi di kemudian hari.
Sejarah sejatinya merupakan sebuah batu lompatan untuk
sebuah negara yang maju dan sejahtera. Perjuangan yang telah dilalui oleh para
pendahulu kita seharusnya mampu menjadi parameter dan cermin untuk menuju
Indonesia yang adil dan makmur. Ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan yang
menggoyah Indonesia saat ini memang menjadi sebuah momok yang mengerikan dan mengancam
stabilitas dan integrasi bangsa. Indonesia memiliki cita-cita luhur untuk
mensejahterakan, mencerdaskan kehidupan masyarakat seperti yang diamanahkan
oleh Undang-Undang Dasar 1945. Seperti yang diamanatkan oleh bapak Proklamator
kita yaitu Seokarno dalam pidatonya menyampaikan sebuah kalimat tentang
“JASMERAH” yang memiliki valensi positif terhadap kehidupan untuk tidak serta
merta melupakan sejarah. Sejarah yang terjadi pada masa lampau mungkin tak akan
terulang kembali, namun jalan ceritanya akan tetap terulang. Itulah salah satu
fungsi dan prinsipil historis sebagai sebuah tolak ukur dan sebagai cermin
bangsa dalam menjalankan amanah konstitusinya.
Memiliki sebuah kekayaan atas sejarah, budaya, dan
perbedaan merupakan anugrah yang didapati Bangsa Indonesia ini oleh karenanya
jangan lah jadikan sebuah perbedaan menjadi sebuah alasan kita untuk melakukan
tindakan Intoleransi. Justru jadikan lah anugrah ini menjadi motivasi kita untuk selalu
menjadi yang terbaik dalam segala aspek. Sebuah bangsa akan maju jika bangsa
tersebut dapat menerima perbedaan dan melihat sebuah perbedaan menjadi sebuah
peluang untuk memajukan negaranya, perbedaan bukanlah sebuah penghambat
melainkan sebuah media penyempurna segala aspek. Perbedaan muncul karena sebuah
keidentikan yang unik dan berbeda satu dengan lainnya jadi jadikanlah itu
sebagai sebuah kesempatan untuk memajukan bangsa dan negara bukan menjadikannya
sebagai kesempatan untuk memecah belah bangsa karena bangsa yang kuat merupakan
bangsa yang hidup rukun dalam sebuah perbedaan.
Dengan memahami dan menjalankan sebuah pemahaman akan
nilai sejarah bukan hanya dapat menyelesaikan satu isu saja tetapi juga dapat
menyelesaikan isu nasional lainnya seperti Ekonomi, Pendidikan, dan juga isu
yang sangat meresahkan saat ini yaitu isu Korupsi di Indonesia. Dimana dengan
menarik sebuah peristiwa sejarah di masa lalu dan di ambil pemahaman nilai akan
peristiwa tersebut dan menjadikannya sebagai cermin kondisi nasional saat ini
sangatlah berperan penting untuk menekan permasalahan yang sedang terjadi
tersebut, olehkarenanya jangan lah sampai kita melupakan sebuah sejarah dan
menganggapnya hanya sebagai sebuah kata belaka.
“Negara yang maju memiliki
Masyarakat yang Bijaksana, yang Hidup di dalam sebuah kerukunan dan Harmoni yang
diikat oleh Toleransi dan melihat Sejarah sebagai media untuk meningkatkan masa
depan yang cerah” Alief Alamsyah.
BIODATA PENULIS
0 Komentar