Kiprah dan Wabah (Sultan Agung dalam Ekspansi Wilayah)

Sultan agung terkenal sebagai raja terbesar dalam sejarah kerajaan Mataram, ia berkuasa lebih dari  tiga dekade (1613- 1646), beliau menguasai seluruh Jawa Tengah, Jawa Timur termasuk ujung timur dan Madura kecuali daerah Blambangan, Sejarawan M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern menyebut “Sultan Agung merupakan penakluk terbesar di Indonesia sejak zaman Majapahit.” Satu-satunya kekurangan Sultan Agung adalah kegagalannya merebut Batavia dari VOC dan satu-satunya kerajaan di Jawa yang tetap merdeka adalah Banten yang terletak di ujung barat.

Dalam ekspansi kekuasaannya, salah satu kendala yang dihadapi Sultan Agung adalah wabah penyakit. Seperti ketika ia menyerang Wirasaba (Mojoagung). “Setelah setengah bulan berperang, para prajurit Mataram diserang wabah penyakit pes. Banyak prajurit yang meninggal, sehingga Sultan Agung mengusulkan untuk menghentikan serangan dan pulang. Akan tetapi Tumenggung Martalaya tetap teguh. Ia minta waktu satu hari lagi untuk merebut Wirasaba,” tulis sejarawan H.J. de Graaf dalam Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung.

Sultan Agung mempunyai taktik sendiri untuk mengalahkan lawan terkuatnya yakni Surabaya, taktiknya yakni dengan cara membendung kali mas, sehingga hanya sebagian air kecil yang bisa melewati bendungan, air yang sedikit itu kemudian diisi dengan keranjang-keranjang berisi bangkai binatang dan buah aren yang busuk, sehingga airnya kemudian menimbulkan banyak penyakit sehingga rakyat  Surabaya banyak terserang penyakit.

Namun, setelah Surabaya menyerah pada 1625, kegiatan militer Sultan Agung mengalami kemunduran. “Kecuali disebabkan oleh perluasan keraton dan keletihan oleh kerja keras selama tahun-tahun sebelumnya, kemunduran ini juga akibat penyakit menular,” tulis De Graaf. Penyakit pes yang mewabah pada tahun 1625-1627 M itu membunuh 2/3 penduduk di beberapa daerah di Jawa Tengah dan 1/3 penduduk Banten.

Sultan Agung memulai lagi ekspansinya pada 1628 dengan menyerang VOC di Batavia. Serangan itu gagal meskipun telah menerapkan strategi seperti ketika merebut Surabaya. Serangan kedua pada 1629 juga mengalami kegagalan.

Akhirnya, Sultan Agung meninggal dunia pada 1646, kira-kira antara awal Februari dan awal April. “kematian Sultan Agung mungkin sekali disebabkan oleh salah satu wabah penyakit,” tulis Ricklefs. Mengenai wabah penyakit itu, sejarawan Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam “Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 1”, mengutip Babad ing Sangkala bahwa pada 1643–1644 di Mataram (Jawa) terjadi “epidemi beratus-ratus mati setiap hari”.

Posting Komentar

0 Komentar